Photo: Buku Api Sejarah, Prof Ahmad Mansur Suryanegara
Dalam Kitab Syamsuzh Zhahirah yang menerangkan tentang nasab fam bin Syahab, nama Imam Bonjol tidak tercantum dalam nasab bin Syahab. Ternyata, nama Syahab dari nama Tuanku Imam Bonjol adalah nama gelar, dan tidak terhubung dengan nasab dari fam Syahab Ba’alawi Al-Husaini. Kalau begitu kemana nasab Tuanku Imam Bonjol, Jika ia bukan bin Syahab? Mengapa Tuanku Imam Bonjol memakai gelar Syarif Muhammad Syahabuddin?. Dari sumber otentik lain yang saya temukan dikatakan bahwa Tuanku Imam Bonjol juga seorang pengamal tarekat, jadi beliau bukanlah penganut paham wahabi seperti yang ditulis dalam buku sejarah atau berbagai sumber.
Dalam hal ini Almarhum KH. Ali Maksum (Sesepuh NU) menjelaskan bahwa, “Meskipun Imam Bonjol bukan dari fam bin Syahab, namun ia adalah masih termasuk Ahlulbait dari Sayyid Muhammad Syahabuddin Al-Husaini seorang Ulama Minangkabau yang lahir tahun 1492 M, dan sampai saat ini keturunannya masih ada”.
Adapun Nasab Sayyid Muhammad Syahabuddin Al-Husaini, sampai kepada Muhammad Rasulullah, adalah sebagai berikut :
- Muhammad Rasulullah
- Sayyidah Fatimah Azzahra/Fatimah Al Batul
- Sayyidina Imam Husain Asshibti/Abu Syuhada
- As-Sayyid Imam Ali Zaenal Abidin/Ali Al Ausath/Ali Assajad
- As-Sayyid Imam Muhammad Al Baqir
- As-Sayyid Imam Ja’far Asshodiq
- As-Sayyid Imam Ali Al Uraidhi
- As-Sayyid Imam Muhammad An-Naqib
- As-Sayyid Imam Isa Arrumi
- As-Sayyid As-Sayyid Imam Ahmad Al Muhajir
- As-Sayyid As-Sayyid Imam Ubaidhillah/Abdullah
- As-Sayyid Imam Alwi Al Mubtakir/Alwi Al Awwal (Cikal Bakal lahirnya keluarga Alawiyyin)
- As-Sayyid Imam Muhammad Shohibus Souma’ah
- As-Sayyid Imam Alwi Shohib Baitu Jubair (Alwi Atsani)
- As-Sayyid Imam Ali Kholi ‘Qosam
- As-Sayyid Imam Muhammad Shohib Mirbath
- As-Sayyid Imam Alwi Ammil Faqih
- As-Sayyid Imam Abdul Malik Azmatkhan
- As-Sayyid Imam Abdullah Amirkhan
- As-Sayyid Imam Ahmad Syah Jalaluddin
- As-Sayyid Imam Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
- As-Sayyid Ibrahim Zainuddin Akbar As-Samarqandi
- As-Sayyid Maulana Ishaq
- Sunan Giri bin Maulana Ishaq
- Abdurrahman/ Muhammad Syahabuddin I (Sultan Minangkabau) bin Sunan Giri
Dari Buku Api Sejarah, Prof Ahmad Mansur Suryanegara, ada fakta tersembunyi yang diungkap, diketahui bahwa Imam Bonjol membuka hubungan dagang dengan Amerika Serikat sehingga masuklah koin emas dari Amerika tersebut ke Sumatera Barat, dimana masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau hingga hari ini.
Imam Bonjol mengadakan kotak niaga dengan Amerika Serikat. Pemerintah kolonial Belanda berupaya memutuskannya dengan cara memprovokasi pecahnya perang Padri 1821-1837. Dari kontak niaga inilah masuk koin-koin emas (piti ameh) yang di Sumatra Barat dikenal dengan sebutan Ringgit. (Buku Api Sejarah, Jilid 1). Ulama-Ulama di Nusantara dan juga alam Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung) dalam melakukan perjalanannya berdawah juga memegang dua hal dalam kesehariannya yaitu Dien Islam dan Perniagaan.
Seorang pencetus gerakan dinar dan dirham pertama di Indonesia adalah keturunan dari Tunaku Imam Bonjol, dimana dia secara pribadi telah melihat silsilah lengkap kakek buyut beliau tersebut secara langsung dari ahli nasab yang memegang silsilah Tuanku Imam Bonjol, dari situ diketahui ternyata Tuanku Imam Bonjol bergaris nasab kepada juga Sunan Giri. (Sumber: Abbas Firman/ IMN/ Dinarfirst)
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Petto Syarif. Lalu mendapatkan gelar Muhammad Syahabuddin.
Beliau adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .
Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772. Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa. Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. “Tuanku Imam Bonjol” adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.
Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda yang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).
Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol. Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut “Perjanjian Masang”. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat. Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.
Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Palakat Panjang”, Tapi Tuanku Imam Bonjol curiga.
Untuk waktu-waktu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Agustus 1837.
Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional. Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya.
Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821). Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang”, karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah atau Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an).
Sumber :
Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864), Piti Ameh Dan Sunan Giri
Kakek buyut saya asli dari Demak (Pulau Jawa SUKU SUNDA), tapi ada yg mengatakan kami silsilah dari Tuanku Imam Bonjol , sementara Kalau membaca artikel ini, sangat KENTAL yg MENJELASKAN bahwa TUANKU IMAM BONJOL adalah ASLI SUMATRA BARAT (PADANG),
Apakah ada salah satu istri TUANKU IMAM BONJOL yg berasal dari TANAH SUNDA (PULAU JAWA) ..???
Imam Bonjol sewaktu lahir tahun 1772 di Bonjol bernama Muhammad Sahab, anak dari Khatib Bayanuddin, berasal dari desa Tanjung Bungo, Bonjol. Sewaktu pemuda ia bernama Peto Syarif; setelah menjadi ulama namanya ditukar jadi Tuanku Mudo. Kemudian menjadi Tuanku Imam Bonjol atas amanat dari Datuk Bandaharo, pemimpin pertama Padri, sewaktu beliau akan meninggal dunia. Imam Bonjol mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya sejak sebelum meletusnya Perang Padri di tahun 1821 itu.
Ibu Imam Bonjol bernama Hamatun yang bersaudara laki-laki, bernama Syekh Said Usman dan keduanya adalah bangsa Arab asli. Kedua bersaudara itu mempunyai ibu asal Yaman Selatan dan ayahnya dari Aljazair yang telah lama bermukim di Maroko. Hamatun dan Syekh Said Usman sebagai mubaligh agama Islam akhirnya sampai ke pantai Sumatera di Sasak, di pantai Sumatera Barat.
Kemudian keduanya terpanggil ke Bonjol untuk mengajarkan agama Islam yang oleh Datuk Temenggung di sana, kepadanya diberi desa dan persawahan di Kampung Koto di Bonjol dan diterima masuk suku Koto. Syekh Said Usaman yang diberi gelar Datuk Bagindo Suman, diangkat jadi Kadi dan sejak itu ia secara turun temurun dengan menyandang gelar yang serupa sampai tahun 1950 adalah tetap jadi Kadi dalam kenegerian Ganggo Hilir di Bonjol.
Sekaipun ada nama shahabnya .Imam Bonjol berketurunan Arab melalui Ibunya ,bukanlah dari Ayahya,
Menurut Ibu Lis Budiwati (59 th) generasi keenam dari turunan Imam Bonjol dengan Istrinya orang Ambon kelahiran Manado yang sudah bergenerasi menetap di nagari Ganggo Hilia kecamatan Bonjol, bahwa Tuanku Imam yang bernama Muhammad Syahab bergelar adat Peto Sjarif dengan istrinya orang Bonjol beroleh anak hanya laki-laki saja, sementara dari istrinya di Manado itu beroleh anak perempuan.
Setelah selesai mengaji (mendalami ajaran Islam) kepada Syeik Alamuddin (Tuanku Nan Tuo) di Koto Tuo kecamatan Ampek Angkek Kab. Agam sekarang, Muhammad Syahab diberi lagi gelar Malin Basa dan sepulang dari Tanah Suci Mekkah menunaikan rukun haji diberi lagi gelar Tuanku Imam. Beliau (Tuanku Imam) adalah anak dari pasangan suami istri Bayanuddin (Khatib) dengan Hamatun. Khatib Bayanuddin adalah putra dari Koto Laweh Sungai Rimbang sedangkan Hamatun adalah seorang dari Maroko yang diindukkan (mengambil ibu angkat) secara adat Minang ke suku Koto di Tanjung Bungo (Bonjol).
Sebetulnya menurut Herman, seorang anggota PWI kabupaten Pasaman, Hamatun dan abangnya Muhammad Said berasal dari negeri Yaman yang berdagang sambil berda’wah berangkat dari Maroko menuju Malaka, dari Malaka meneruskan misinya ke Aceh, setelah menetap beberapa saat di Aceh kemudian kakak beradik ini melanjutkan perjalanannya menyisir patai Barat Sumatera dan mendarat di pantai Sasak. Semasa itu Pelabuhan Sasak di Kab. Pasaman Barat sekarang merupakan salah satu dari sepuluh pelabuhan dagang di pantai Barat Sumatera (pantai barat Minangkabau. Dari pantai Sasak ini Muhammad Said dan adiknya memudiki pedalaman Pasaman dan sampailah di Lembah Alahan Panjang (sebelum bernama Bonjol).