Sekelompok orang dipimpin Kiai Ayif Amin Habibi mendatangi bibir pantai Teluk Labuan Banten, pada 25 Desember 2018 dini hari pukul 01.00 WIB.
Adapun tujuan kedatangan rombongan santri ini adalah dalam upaya berikhtiar memohon kepada Allah agar kondisi gelombang laut kembali tenang.
Kehadiran Kiai Ayif Amin Habibi beserta rombongan di malam hari, dalam kondisi cuaca yang kurang baik tentu sangat beresiko. Terlebih beberapa hari sebelumnya pada 22 Desember 2018 malam, di daerah tersebut terjadi bencana Tsunami yang menelan ratusan korban jiwa.
Namun atas kehendak Allah, rombongan bisa menuntaskan hajat mereka dengan aman. Selain itu, upaya spiritual yang dilakukan Kiai Ayif Amin Habibi beserta rombongan dalam mengatasi amukan tsunami perlu mendapat apresiasi yang sewajarnya (sumber: doa di pinggir Pantai Labuan).
Penjelasan Ilmiah Tsunami di Selat Sunda
Secara ilmiah gelombang tsunami yang menerjang wilayah pesisir Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan, dijelaskan oleh Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Mirzam Abdurrachman.
Sebagaimana dilansir voa-islam.com (25/12/2018), gelombang tsunami yang mencapai garis pantai bisa berasal dari empat mekanisme terjadinya volcanogenic Tsunami dengan rincian sebagai berikut:
Pertama, Kolapnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut.
Kedua, pembentukan Kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba.
Menurut Dr Mirzam Abdurrachman, mekanisme satu dan dua pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883 dan tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan.
Ketiga, terjadi longsor dan material gunung api yang memicu perubahan volume air disekitarnya. Tsunami tipe ini pernah terjadi di Gunung Unzen Jepang 1972, banyaknya korban jiwa saat itu hingga mencapai 15 ribu jiwa karena bersamaan sedang terjadi gelombang pasang.
Keempat, munculnya aliran piroklastik atau terkadang disebut “wedus gembel” yang turun menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi. Hal ini bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai.
Tsunami tipe ke-4 ini pernah terjadi saat Gunung Pelee, Martinique meletus pada 8 Mei 1902. Saat aliran piroklastik Gunung Pelee yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami.
Peristiwa volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan penyebab lainnya. Namun bisa sangat merusak karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda.