Ada pendapat yang mengatakan bahwa gelar “haji” di Indonesia merupakan pemberian dari pemerintah Kolonial Belanda. Hal demikian sengaja diberikan untuk mengawasi siapa-siapa saja yang yang telah menunaikan haji ke Mekah.
Para Haji ini penting untuk dikenali dan diawasi mengingat pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Belanda banyak dilakukan oleh mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dan Salah satu landasannya adalah adanya peraturan “Ordonansi Haji” tahun 1916 yang mewajibkan penggunaan gelar haji.
Namun berdasarkan analisa sejarawan Tiar Anwar Bachtiar, pendapat di atas bisa dikatagorikan gegabah dan terlampau simplisistik. Kesimpulan sejarah simplisistik semacam ini sering muncul di tengah masyarakat Indonesia yang pada umumnya awam sejarah.
Dalam tulisannya berjudul “Gelar “Haji” Bukan Warisan Belanda“, Tiar Anwar Bachtiar mengatakan tidak benar bahwa gelar haji baru dipakai sejak tahun 1916. Bahkan, pernyataan ini menunjukkan keteledoran sejarah yang fatal.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa gelar “haji” sudah dipakai sejak lama di Indonesia bahkan sejak sebelum Zaman Kolonial. Salah satunya yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013: 33-34).
Henri Chambert-Loir menyebut bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji. Ia merupakan anak raja di Jawa yang pertama kali naik haji. Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”.
Bahkan sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651. Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji Wangsaraja, kemudian Haji Fatah.
Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar “haji” sudah populer di Indonesia, dan sama sekali bukan buatan Belanda. Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut “haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Di masa lalu, perjalan haji juga bertujuan untuk mencari ilmu dan membangun relasi internasional. Mereka pada umumnya bermukim di Mekah atau Jeddah dalam waktu yang cukup lama sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji. Selama mereka berada di sana, sebagian besar menggunakannya untuk belajar dan membangun relasi internasional.
Pengaruh gerakan para haji ini semakin menguat memasuki abad ke-20. Hasil belajar di Mekah dari guru-guru mereka dan kenalan mereka di dunia internasional, menginspirasi para haji ini untuk membuat suatu terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti para pendahulu mereka.
Pendekatan baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat secara langsung.
Mula-mula Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905; lalu Hadji Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911.
Kemudian berlanjut di tahun 1912 Haji Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah mendirikan organisasi Muhammadiyah. Tahun 1923 di Bandung Haji Muhammad Yunus dan Haji Muhammad Zam-zam mendirikan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim mendirikan Persyarekatan Ulama di Majalengka.
Munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut semakin menekan posisi politik Belanda di tanah jajahannya ini. Oleh sebab itu, Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak berbahaya.
Bahkan Ordonansi Haji tahun 1859 justru membatasi dan cenderung melarang penggunaan gelar “haji”, karena masyarakat memang amat menghormati gelar ini sejak lama. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian Belanda, melainkan budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di Indonesia.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir dan Pulau Onrust. Mereka mencatat dengan detail nama-nama dan maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah menemukan warga pribumi, karena di depan nama mereka sudah tercantum gelar haji.