Ronggowarsito merupakan seorang pujangga ternama sastra Jawa. Ia dilahirkan pada tahun 1802 M dan wafat di usia 71 tahun pada tahun 1873 M. Salah satu karyanya yang monumental adalah Kitab Raja Purwa.
Uniknya di dalam Kitab Raja Purwa, bercerita tentang Letusan Gunung Kapi (Krakatau), yang tercatat meletus 10 tahun setelah Ronggowarsito wafat. Banyak kalangan berspekulasi dan menduga-duga bahwa Sang Pujangga telah meramalkan kejadian di masa depan.
Di dalam Kitab Raja Purwa yang terbit tahun 1869 M, Ronggowarsito menulis, “Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka.”
Deskripsi yang dituangkan oleh Ronggowarsito dalam Kitabnya sangat mirip dengan peristiwa tsunami ketika Krakatau meletus pada tahun 1883 M.
Namun dugaan orang tentang Ramalan Ronggowarsito terbantahkan. Menurut Gegar Prasetya, ahli tsunami dan kelautan, peristiwa yang ditulis Ronggowarsito merupakan kejadian letusan Krakatau di masa silam.
Gegar berkeyakinan bahwa Krakatau pernah meletus sebelum tahun 1883 M. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya catatan dalam buku edisi kedua dari Ronggowarsito, yang memberi penanda tahun dari peristiwa letusan itu.
Dalam buku tersebut, Ronggowarsito memberikan catatan, ” …di tahun Saka 338 (416 Masehi) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang dijawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi yang terletak di sebelah barat Banten modern.”
Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan pendapat pakar arkeologi David Keys, yang menyatakan sebelum tahun 1883 M, Gunung Krakatau Purba pernah meletus di tahun 416 M atau 535 M. Pendapatnya ini ia tulis dalam bukunya berjudul “Catastrophe: An Investigation into the Origins of the Modern World.”
David Keys juga berpendapat bahwa pada letusan Gunung Krakatau di masa lampau, telah berimplikasi terhadap terjadinya perubahan peradaban dunia secara global.