Kufu’ dalam Nikah, adalah Perkara dien

Kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan, atau sebanding.

Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad menganggap masalah kafa’ah adalah perkara dien. Ketika berpendapat dalam permasalahan ini, beliau awali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an di antaranya :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui Maha Teliti” (QS. Al Hujurat (49) ayat 13)

(Catatan : Di dalam Tafsir Ibnu Katsir (IV/230), Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat mulia ini telah dijadikan dalil oleh beberapa ulama yang berpendapat bahwa kafa’ah (sama dan sederajat) di dalam nikah itu tidak dipersyaratkan dan tidak ada yang dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.”)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…“(QS. Al Hujurat(49) ayat 10)

“… perempuan-perempuan yang baikuntuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)… “ (QS. An-Nur (24) ayat 26)

Kemudian beliau lanjutkan hadits dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda :
“Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah perempuan-perempuanmu dengan Abu Hind, dan nikahlah kamu dengan perempuan-perempuan Abu Hind.“ (Hadits riwayat Abu Dawud)

(Catatan : Abu Hind adalah tukang bekam. Dalam kitab Ma’allim As Sunan dikatakan bahwa hadist ini dijadikan dasar oleh Imam Malik untuk menetapkan bahwa kufu’ adalah dari segi agama saja, tidak dari yang lain).

Teladan Rasulullah dan Para Sahabat

Kebanggaan atas nasab keturunan, sesungguhnya telah di wanti-wanti oleh Rasulullah melalui sabdanya :
”Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang. Sesungguhnya yang ada hanyalah seorang mukmin yang bertakwa atau pendurhaka yang tercela. Manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam kecuali dengan takwa” (Hadits riwayat At-Tirmidzi)

Berkenaan dengan persamaan derajat, antara sesama manusia dalam suatu pernikahan, terdapat beberapa contoh, di antara-nya :


– Rasulullah saw pernah meminang Zainab binti Jahsyin Al Qurasyiyyah seorang wanita bangsawan, untuk Zaid bin Haritsah, mantan pembantu beliau.
– Abu Hudzaifah menikahkan Salim, seorang bekas budak, dengan Hindun binti Al Walid bin Utbah Rabi’ah.
– Bilal bin Rabbah menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf, sahabat yang dikenal sebagai seorang saudagar kaya raya.
– Rasulullah saw, menikahkan Miqdad dengan Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul Muthallib
– Rasulullah menikahkan Fathimah binti Qais Al Fihriyyah, dengan Usamah bin Zaid

Di dalam sebuah hadits…

Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada seseorang berjalan melewati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, ‘Bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?’ Dia menjawab, ‘Dia dari kalangan orang-orang terhormat (kaya). Orang ini, demi Allah, sangat pantas jika dia melamar, maka tidak akan ditolak dan jika minta syafa’at, maka akan diberi.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam. Kemudian ada orang lain lagi yang lewat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Lalu bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, orang ini adalah termasuk golongan kaum muslimin yang fakir. Orang ini jika melamar, maka tidak akan diterima dan jika (ingin) menjadi suami, maka tidak akan diberi serta jika berbicara, maka tidak di-dengarkan ucapannya.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada seisi bumi seperti orang itu (yang kaya).” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dan ketika, Ali bin Abi Thalib ra., ditanya tentang pernikahan se-kufu’, beliau menjawab:
“Semua manusia kufu’ satu dengan yang lainnya, baik Arab dengan Ajam, Quraisy dengan Hasyim, dengan syarat mereka sama-sama Islam dan beriman.”

Iklan

11 responses to “Kufu’ dalam Nikah, adalah Perkara dien

  1. alfaruq buana

    bagaimana dg perkawinan syarifah dan ahwal yg saat ini,…jadi polemik,….

  2. Klo mnurut ane prhbadi klo mslah pernikahan itu dngan siapa sja bleh… Apalagi sma syarifah/biasa dktakan keturunan habaib. Dan bagi yng brnggpan klo kwin sma syarifah gak bleh sbaiknya blajar lgi tentang hukum pernikahan dan keturunan. Nah skrang ane mau ngasih tau pemikiran ane… Mnurut ane kturunan dri siapapun itu sma sja gak ad bdanx… Yng dbdakan adlah taqwanx az. Mau habaib, kiyai, ustadz, atau orang yng gak pnx titel sprti diatas sklipun, klo taqwanx sempurna sama jga… Hehehehehe

  3. Semua manusia yg normal punya keinginan mempunyai menantu yg terbaik, spt orang jawa akan menilai calon menantunya dari segi:
    1. BIBIT = Keturunan orang baik.
    2. BOBOT = Yg mempunyai akhlaq dan ilmu yg baik (terutama agamanya) dan harta (agar hidup anaknya tidak sengsara, sbb hidup faqir dekat dgn ke-kufuran).
    3. BEBET = Lingkungan hidup dan pergaulan yg baik, bukan seseorang yg pergaulannya dgn orang2 yg buruk.

    Tapi jangan lupa semua keputusan di tangan Allah. Saya punya rencana, anda punya rencana dan Allah juga punya rencana. Dan yg berlaku pasti rencana Allah. Makanya soal jodoh lebih baik kita pasrahkan kepada Allah, dan kita hanya bisa ber do’a atas rencana kita….. Keputusan Allah pasti ada hikmahnya buat kita.

  4. habib salam hunaifi

    Dengan siapapun kita menikah boleh yang penting memenui syaratnya,,, itu,.

  5. Boleh nikah dengan syarifah dengan syarat:
    1. Orangtuanya setuju (wali gadis). Kalau ortunya punya pandangan yang berbeda dan melarang menikahi kalau bukan sayyid berarti belum takdir. (Kalo masih ngebet sama syarifah ini tunggu aja jandanya… hehehe.)
    2. Mempunyai dienul Islam yang baik dan akhlakul karimah, Pecinta ahlul bait (S. Rasulullah SAAW, S. Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain). Mengetahui kedudukan syarifah yang merupakan keturunan Rasul yang tidak boleh menerima zakat, infaq, shadaqah.
    3. Dapat menjaga nama baik Rasulullah dan keturunan Rasulullah.
    Semoga dapat menurunkan keturunan yang shaleh seperti datuk kakeknya.

  6. Hamid Assegaf

    Heran…ngakunya mayoritas mazhab Syafii…giliran yg kayak gini ngambil mazhabnya Imam Malik…

  7. saya dihina dan di caci maki hanya krena saya mengatakan boleh ahwal menikah dg syarifah…
    bahkan saya pernah dikatakan anak zinah…
    Astaqfirullah,,,

  8. kalu mendengarn ceramaha khalid basalamah,,,cari jodoh yang sekufu dalam arti satu iklim, satu kebiasaan , agar nyaman dll

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s